China Balas Amerika, Qualcomm dan Nvidia Jadi Target Utama di Perang Chip Global 2025

Ketegangan antara China dan Amerika Serikat kini berubah menjadi perang teknologi besar yang memengaruhi seluruh dunia. Setelah Washington selama tiga tahun menekan Beijing dengan sanksi dagang dan pembatasan ekspor chip canggih, kini giliran China melakukan serangan balik strategis. Dua perusahaan besar asal Amerika, Qualcomm dan Nvidia, kini diselidiki oleh lembaga pengawas pasar China, State Administration for Market Regulation (SAMR).

Langkah ini bukan sekadar tindakan hukum, tetapi pesan tegas bahwa China tidak lagi mau menjadi pasar pasif bagi teknologi asing. Mereka kini bersiap untuk memimpin era baru kemandirian teknologi global.


Chip Adalah Otak Dunia Modern

Chip semikonduktor kini menjadi elemen paling vital dalam setiap aspek kehidupan modern. Dari ponsel, mobil listrik, hingga kecerdasan buatan, semua sistem digital bergantung pada chip. Tanpa chip, dunia akan lumpuh.

Amerika selama ini menguasai desain dan riset semikonduktor melalui perusahaan besar seperti Intel, Qualcomm, Nvidia, dan AMD. Namun posisi ini mulai terancam karena China menguasai rantai pasok bahan baku dan memiliki pasar pengguna terbesar di dunia.

Ketika Amerika melarang ekspor chip AI seperti Nvidia A100 dan H100 pada 2022, tujuannya untuk menghambat kemajuan teknologi Beijing. Namun efeknya justru mendorong China memperkuat industri chip lokal seperti Huawei HiSilicon, SMIC, dan Biren Technology. Kini mereka bukan hanya mampu memproduksi, tetapi juga menantang raksasa Amerika secara langsung.


Qualcomm Dituduh Langgar Hukum Pasar

Serangan pertama China dimulai dengan penyelidikan terhadap Qualcomm. Regulator pasar menuduh perusahaan asal San Diego itu melanggar aturan pelaporan dalam akuisisi Autotalks, perusahaan chip otomotif asal Israel. Pemerintah China khawatir akuisisi tersebut akan mengganggu kompetisi di pasar chip otomotif lokal yang sedang berkembang pesat.

Kasus ini menjadi sorotan karena Qualcomm bukan pemain baru dalam konflik dengan Beijing. Pada tahun 2015, mereka pernah didenda 975 juta dolar AS karena melanggar hukum antimonopoli. Sementara pada 2018, akuisisi mereka terhadap NXP Semiconductors batal karena izin dari China tidak diberikan.

Meskipun hubungan keduanya sering tegang, China tetap menjadi pasar terbesar bagi Qualcomm dengan kontribusi lebih dari 50 persen pendapatan globalnya. Kini, dengan penyelidikan baru ini, Beijing ingin menunjukkan bahwa setiap perusahaan asing yang beroperasi di wilayahnya harus tunduk pada aturan mereka.


Nvidia Jadi Sasaran Berikutnya

Jika Qualcomm diserang lewat isu akuisisi, maka Nvidia diserang lewat dugaan monopoli. Pemerintah China menuduh Nvidia melanggar hukum antimonopoli dalam akuisisi Mellanox Technologies pada tahun 2020, yang membuat mereka semakin kuat di pasar chip AI dan data center.

Selain penyelidikan, pemerintah juga memperketat impor chip Nvidia. Bahkan versi chip yang dirancang khusus untuk pasar China seperti H20 dan RTX Pro 6000D kini diperiksa ketat oleh bea cukai di pelabuhan utama. Langkah ini diiringi dorongan bagi perusahaan lokal seperti Alibaba, Tencent, dan Baidu untuk beralih ke chip buatan dalam negeri.

Kebijakan ini memperlihatkan niat serius Beijing untuk menghapus ketergantungan pada teknologi Amerika. Dalam waktu singkat, China mulai membangun ekosistem chip nasional yang bisa bersaing secara global.


Serangan Ekonomi China yang Terukur

Penyelidikan terhadap Qualcomm dan Nvidia hanyalah satu bagian dari strategi besar Beijing. Dalam waktu bersamaan, China juga menerapkan biaya tambahan untuk kapal berbendera Amerika Serikat yang berlabuh di pelabuhan mereka. Kebijakan ini adalah tanggapan terhadap tarif tinggi yang lebih dulu diberlakukan Washington.

Selain itu, pemerintah China juga mewajibkan izin ekspor untuk bahan mentah strategis seperti litium dan semikonduktor mentah. Dua bahan ini sangat penting bagi industri chip dan baterai dunia. Dengan langkah ini, China menegaskan posisinya sebagai pengendali rantai pasok global.

Kekuatan Beijing bukan hanya terletak pada teknologi, tetapi juga pada kemampuannya mengatur pasokan bahan baku yang menjadi fondasi industri modern.


Dunia Kini Terbelah Menjadi Dua Blok Teknologi

Perang chip global telah menciptakan dua kubu besar di dunia teknologi.

  1. Blok Barat dipimpin oleh Amerika Serikat bersama sekutu seperti Jepang, Korea Selatan, dan Eropa. Fokus mereka adalah riset, desain, dan inovasi chip kelas atas.
  2. Blok Timur dipimpin oleh China yang menguasai manufaktur, bahan mentah, dan pengembangan chip AI berbasis lokal.

Kedua kubu ini kini sedang membangun sistem yang berbeda. Dunia berpotensi memiliki dua standar teknologi yang tidak kompatibel, dari chip hingga jaringan AI.

Bagi negara seperti Indonesia, situasi ini bisa menjadi peluang strategis. Posisi netral memungkinkan Indonesia menarik investasi dari kedua pihak, baik dalam riset maupun manufaktur chip Asia Tenggara.


China Tunjukkan Kemandirian Teknologi

Langkah China menyeret Qualcomm dan Nvidia bukan semata pembalasan politik, tetapi bukti bahwa mereka telah siap berdiri di atas kaki sendiri.

Dalam tiga tahun terakhir, pemerintah China menggelontorkan dana besar untuk membangun pusat riset, melatih talenta baru, dan memperluas jaringan pabrik semikonduktor. Hasilnya mulai terlihat dengan kemunculan chip buatan lokal yang mampu menyaingi produk luar negeri.

China kini tidak lagi sekadar mengikuti, tapi memimpin dalam beberapa bidang, termasuk AI dan teknologi otomotif cerdas.


Kesimpulan

Perang chip global 2025 adalah simbol dari perubahan besar dalam tatanan dunia teknologi. Langkah China menyelidiki Qualcomm dan Nvidia adalah pernyataan bahwa era dominasi tunggal Amerika sudah berakhir.

Chip kini bukan hanya produk industri, tetapi senjata strategis yang menentukan arah ekonomi dunia. Negara yang mampu memproduksi dan menguasainya akan memegang kunci masa depan.

China telah membuktikan bahwa mereka bukan lagi pemain bayangan, tetapi kekuatan baru yang siap mendefinisikan ulang masa depan teknologi global.