Sejak pertengahan Agustus, jagat maya Indonesia dipenuhi poster-poster digital yang menyerukan demonstrasi besar pada 25 Agustus 2025. Ajakan itu tampil dengan bahasa keras dan tuntutan serius. Mulai dari seruan pembubaran DPR, kritik terhadap gaji anggota dewan yang dianggap berlebihan, hingga isu pemakzulan elit politik.
Tidak berhenti di situ, narasi yang disebar juga menyentuh keresahan publik mengenai utang negara dan pajak yang dinilai menekan masyarakat. Sejumlah unggahan bahkan menyertakan instruksi teknis seperti membawa polybag untuk mengantisipasi gas air mata. Dari luar, semua itu tampak seperti skenario aksi besar. Tetapi di balik riuh tersebut, justru ada kekosongan besar: tidak ada penggerak resmi yang muncul ke permukaan.
Publik awalnya menduga seruan ini digerakkan oleh kelompok mahasiswa atau buruh. Tetapi tak lama, dugaan itu dipatahkan langsung oleh klarifikasi dua pihak besar.
Partai Buruh melalui Presiden Said Iqbal menegaskan mereka tidak akan turun pada 25 Agustus. Agenda resmi mereka baru digelar 28 Agustus 2025, dengan fokus pada isu ketenagakerjaan seperti penghapusan outsourcing, penolakan sistem kerja kontrak murah, dan desakan kenaikan upah minimum.
BEM SI Kerakyatan juga menolak keterlibatan mereka. Mereka memastikan tidak ada instruksi demo dari pihak mahasiswa. Seruan yang beredar bukan agenda BEM SI, melainkan murni isu liar yang menyebar di media sosial.
Sikap kedua kelompok ini memperjelas bahwa ajakan 25 Agustus tidak memiliki basis massa riil.
Tokoh buruh Jumhur Hidayat kemudian memberi peringatan keras. Ia menyebut seruan itu berbahaya karena tidak jelas siapa yang bertanggung jawab. Menurutnya, gerakan tanpa struktur bisa dengan mudah dipelintir menjadi kerusuhan atau dipakai oleh pihak tertentu untuk kepentingan politik tersembunyi. Karena itu, ia melarang anggota KSPSI maupun keluarganya terlibat. Larangan ini menegaskan bahwa kalangan buruh mengambil jarak penuh dari isu tersebut.
Sementara itu, di Jawa Tengah, seruan demo juga dikaitkan dengan Demo Pati Jilid II. Aliansi Masyarakat Pati Bersatu sempat mengumumkan rencana aksi di DPRD Pati untuk menuntut pemakzulan Bupati. Namun sebelum tiba waktunya, inisiator Ahmad Husein menarik diri. Rencana itu resmi dibatalkan. Perjuangan kemudian dialihkan ke jalur hukum dan hak angket DPRD.
Kontradiksi pun muncul. Di dunia maya, narasi demo 25 Agustus tampak menggelegar. Poster-poster viral, komentar publik penuh semangat, media ramai memberitakan. Tetapi di lapangan, organisasi besar mundur, tokoh buruh melarang, dan rencana aksi di Pati pun gagal.
Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya media sosial dalam menciptakan ilusi. Sebuah poster anonim dapat membuat publik resah, aparat siaga, dan opini nasional terguncang. Padahal, di dunia nyata, tidak ada massa yang benar-benar turun.
Besok, 25 Agustus, akan menjadi hari penentu. Apakah jalanan tetap lengang seperti biasa, atau justru ada kejutan kecil dari kelompok yang benar-benar bergerak diam-diam. Apa pun hasilnya, satu pelajaran sudah jelas: narasi digital kini mampu menciptakan gelombang besar bahkan tanpa satu pun spanduk terbentang di jalanan.